A. Biografi Nyai Dahlan
Dari
sisi Historical Establishment (sejarah pendirian), gegap gempita perkembangan yang sangat pesat yang dialami Organisasi
Masyarakat Islam Muhammadiyah saat ini tentu tidaklah lepas dari perjuangan punggawa-punggawa
pendirinya terdahulu. Ormas islam yang mengemban misi sosial, dakwah dan
kemanusiaan ini juga lahir berkat perjuangan seorang tokoh wanita yang seharusnya
patut diperhitungkan. Sejauh ini, masyarakat lebih mengenal tokoh-tokoh pendiri
Muhammadiyah ini hanyalah dari kalangan pria, seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki
Bagus Hadikusumo, AR Fachrudin dan lain sebagainya. Namun dalam sejarahnya,
kontribusi yang tak kalah besarnya juga ikut diberikan oleh salah seorang kaum
hawa yang tak lain ialah istri dari pendiri Muhammadiyah itu sendiri, Nyai
Dahlan.
Jika
sedikit melihat sejarah, sumbangsih tenaga dan pikiran yang diberikan Nyai
Dahlan ketika itu tak kalah besar dibandingkan dengan suami tercintanya, KH.
Ahmad Dahlan. Sebagai kaum hawa, secara intensif beliau hadir sebagai pelopor
penggerak bagi kaum wanita yang melakukan suatu transformasi sosial yang
berdampak pada perbaikan hidup masyarakat, khususnya kaum wanita. Alhasil,
lahir sebuah pergerakan kaum wanita yang berada pada kalangan Muhammadiyah saat
itu yang kemudian kita kenal sekarang dengan nama Aisyiyah.
Memiliki
nama kecil Siti Walidah, Nyai Dahlan dilahirkan pada tahun 1872 M dan dibesarkan
di Kampung Kauman, Yogyakarta (Indonesia bernama Hindia Belanda saat itu). Dari
segi keturunan (nasab), Nyai Dahlan berasal dari kalangan terhormat. Beliau
merupakan putri dari Kyai Penghulu H. Muhammad Fadli bin Kyai Penghulu Haji Ibrahim
bin Kyai Muhammad Hassan Pengkol bin Kyai Muhammad ‘Ali Ngraden Pengkol.
Sebagai anak dari pejabat (ayahnya juga seorang penghulu kraton Ngayogyokarto),
Siti Walidah menjadi putri ‘pingitan’ dan cukup dihormati masyarakat
sekitarnya. Dari pernikahan Kyai Muhammad Fadhil dengan Nyai Mas melahirkan tujuh
orang anak, yakni Kyai Lurah Nur, H. Ja’far, Siti Munyinah, Siti Walidah, H.
Dawud, Kyai H. Ibrahim, dan Kyai H. Zaini. Siti Walidah dalam relasi
kekeluargaan ini adalah keturunan yang keempat dari Kyai Muhammad Fadhil.
Dalam
kondisi orang tua sebagai Abdi Dalem Kraton, Nyai Walidah menjadi puteri
pingitan yang pergaulannya sangat terbatas. Beliau tidak belajar di sekolah
formal karena mengkaji Alquran dan ilmu agama dipandang cukup oleh keluarganya pada
masa itu. Hampir setiap hari, sebagaimana umumnya penduduk Kampung Kauman, Nyai
Walidah belajar Alquran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon).
Dia adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.
Semangat menuntut ilmu yang dimiliki Nyai Walidah meruntuhkan rasa malunya.
Meski berusia di atas empat puluh tahun Nyai Walidah masih mau belajar membaca
dan menulis Latin bersama teman-temannya. Beliau belajar kepada ibu
Tjitrosoebono, istri S. Tjitrosoebono.
Pada
tahun 1889 atau sekitar usia 17 tahun, Nyai Walidah dinikahkan dengan Mohammad
Darwis atau yang lebih dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan. Darwis bagi Nyai
Walidah tergolong keluarga dekat, karena dia adalah saudara sepupunya sendiri.
Darwis dalam silsilahnya adalah keturuanan Kyai. H. Abu Bakar, khatib Amin
Masjid Agung Kraton Yogyakarta. Siti Aminah, istri Kyai H. Abu Bakar adalah
bersaudara dengan ayahnya Siti Walidah, penghulu Muhammad Fadhil. Mereka berdua
adalah anak dari Kyai H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai Penghulu Kraton
Yogyakarta.
Setelah menikah dengan KH.
Ahmad Dahlan beliau pun menyertai perjuangan suaminya dalam suka dan duka. Nyai
Walidah mendampingi suaminya pada waktu berdakwah di Banyuwangi dan diancam
penduduk Banyuwangi akan membunuhnya, apabila dakwahnya diteruskan. Dakwah
tetap diadakan dan sebagai hasilnya di Banyuwangi berdiri cabang Muhammadiyah. Sesuai
dengan uraian yang diterima dari suaminya, Nyai Walidah mulai berusaha
mendirikan organisasi wanita. Sebagai langkah permulaan, ia mengumpulkan
beberapa orang pemudi dari kalangan keluarga sendiri yang kemudian diperluas
dengan puteri-puteri tetangganya. Saat itu Nyai Walidah mulai terlibat di Muhammadiyah dan turut merintis sebuah
majelis pengajian khusus wanita yang diberi nama Sopo Tresno (siapa
cinta) tahun 1914.
Perkumpulan
Sopo Tresno yang digawangi Nyai
Walidah ini terus berkembang. Tidak hanya mengkaji masalah-masalah keagamaan,
majelis ini juga turut mengkaji berbagai macam problematika kehidupan yang
terjadi di masyarakat, misalnya pentingnya bagi kaum wanita untuk turut serta
berperan aktif dalam proses-proses pembangunan dan pemberdayaan potensi kaum
wanita secara universal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Melihat
kemajuan pesat yang dialami perkumpulan Sopo
Tresno ini, kemudian muncul usulan dari KH. Ahmad Dahlan, Kyai Muhtar, Ki
Bagus Hadikusumo, dan beberapa pendiri Muhammadiyah lainnya untuk mengubah Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi
besar khusus bagi kaum hawa. Banyak usulan nama pengganti untuk Sopo Tresno pada saat itu, seperti nama
“Fatimah”. Namun beberapa orang diforum tersebut tidak menyepakatinya. Tetapi
tak lama kemudian muncul usulan nama dari Kyai Fachruddin. Beliau mengusulkan
nama “Aisyiyah”. Beberapa perbincangan sempat terjadi guna membahas usulan nama
tersebut, namun semua pihak yang hadir pada saat itu menyepakati nama Aisyiyah
sebagai nama pengganti Sopo Tresno,
yang akhirnya pada tanggal 22 April 1917 Aisyiyah resmi menjadi salah satu
organisasi otonom Muhammadiyah.
KH.
Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah menjadikan Surah An Nahl ayat 97 sebagai semangat
pemikiran dan landasan yang digunakan untuk mendirikan Aisyiyah. Nyai Dahlan
sangatlah menyadari bahwa tugas dakwah menjadi tanggung jawab laki-laki dan
perempuan. Dalam Surah AN Nahl ayat 97, Allah
SWT telah menjanjikan kepada kaum laki-laki dan perempuan kehidupan yang baik
yang mengerjakan amal saleh dan diberikan
pula balasan berupa pahala yang lebih baik dari yang telah dikerjakan. Dalam
Surah dan ayat tersebut juga mengingatkan kepada kita bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki tugas yang sama dalam menyebarkan agama islam dan yang lebih
penting lagi baik laki-laki dan perempuan akan ditanya apa saja yang telah
dilakukannya di dunia ini.
Diantara
kegiatan Aisyiyah pada tahun-tahun pertama diresmikan adalah : 1. Mengirim para
mubalighat ke perkampungan pada bulan Ramadhan untuk memimpin Shalat Tarawih.
2. Mengadakan perayaan hari-hari besar islam. 3. Mengkursus islamkan dan
diajarkan berbagai keterampilan kepada pekerja-pekerja dan istri-istri pegawai
di kampung. Hingga kini tak hanya kegiatan rutin yang dilakukan ortom Aisyiyah,
tetapi juga terdapat puluhan amal usaha telah dijalankan demi menunjang dan
memberi kesejahteraan, terutama bagi warganya dan masyarakat umum lainnya.
Hingga dimasa
awal revolusi, diusianya yang mulai senja beliau tetap gentar berusaha
memperjuangkan kestabilan sosial masyarakat serta tetap giat membantu perjungan
untuk mendukung tentara yang sedang bertempur di medan perang melawan penjajah.
Beliau menganjurkan kaum wanita agar mendirikan dapur umum untuk para pejuang
kemerdekaan. Nyai Walidah juga dikenal sebagai salah satu tokoh wanita yang
rajin bertukar pikiran tentang perjuangan dengan Presiden Repoblik Indonesia
yaitu bapak bangsa, Soekarno Muhammad Hatta dan Jendral Sudirman. Dan di usianya
yang ke 74 tahun tepatnya pada 31 Mai 1946 beliau menghembuskan nafas
terakhirnya di Yogyakarta yang kemudian dimakamkan di sana. Atas jasa-jasanya
kepada Negara. Nyai H. Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) diberi gelar Pahlawan
Nasional. SK Presiden Republik Indonesia No. 042/TK/Tahun/1971/Tanggal 22
September 1971.
Seperti
yang telah dikisahkan di atas, kiprah Nyai Dahlan tidak dapat diragukan lagi
dalam membangun dan menyadarkan kaum wanita supaya ikut mengambil peran dalam
kehidupan sosial. Selain itu, beliau juga aktif dalam meningkatkan pendidikan
khususnya masyarakat Muhammadiyah.
Di
tengah dominasi kaum pria saat itu, dimana kaum wanita hanya memandang
pekerjaan dapur dan urusan rumah tangga lainnya, Nyai Dahlan mampu mendobrak tradisi
di tengah kebekuan sikap dan paradigma yang dogmatis kala itu. Pembatas yang
membuntukan pandangan kaum hawa, bahwa mereka hanyalah kaum wanita, yang
berarti pekerjaannya ya hanyalah mengurusi suami dan anak dirumah.
Pada
tahun 1918, sebuah sekolah bernama Volk School (sekolah Dasar 3 Tahun)
Muhammadiyah Kauman dikembangkan menjadi dua sekolah yaitu bagian khusus
laki-laki dan bagian khusus wanita. Bagi laki-laki dipisahkan tempatnya di
kampung Suronatan menenpati tanah pemberian Sultan dengan nama Standar School
Muhammadiyah (Sekolah Dasar 5 Tahun). Sementara untuk pendidikan wanita tetap
di Kauman dengan status seperti semula, hanya diubah namanya menjadi Sekolah
Pawiyatan.
Dalam
kondisi di atas (diskriminasi pendidikan terhadap kaum wanita), Nyai Dahlan
mempunyai ide mendirikan asrama khusus bagi kaum wnaita. Meski pendidikan
formal waktu itu telah dikelola Muhammadiyah, namun Nyai Dahlan memiliki
pikiran lain. Untuk menyempunkan pendidikan bagi kaum wanita, nampaknya perlu
diadakan pendidikan non formal atau asrama (pondok). Sistem asrama memang sudah
ada pada saat itu, namun hanya khusus untuk kaum pria saja. Nyai Dahlan menilai
asrama untuk wanita juga sangat diperlukan.
Sejak
saat itulah, banyak kaum wanita yang bersekolah khususnya di sekolah pawiyatan,
namun kepentingan pendidikan di luar rumah, terutama untuk kejuruan, umumnya
masih diabaikan oleh orang tua. Asrama yang didirikan oleh Nyai Ahmad Dahlan
diharapkan dapat mendidik kaum wanita khususnya dalam bidang pendidikan agama
dalam segala hal tak lupa pula bidang keputriannya. “Sepi ing pamri”, begitu
konsep pemikiran yang melandasi semangat Nyai Dahlan dalam melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan, seperti berdakwah, beribadah, maupun berderma. Hal tersebut secara
konsisten beliau tunjukkan dalam tabligh-tablighnya ke luar daerah yang
kadangkala harus menempuh perjalanan yang sulit.
Jika
diingat-ingat kembali masa-masa perjuangan Nyai Dahlan dalam memperjuangkan
lahirnya cendekiawan-cendekiawan wanita, tak cukup jika diceritakan dalam
tulisan ini. Sebab banyak kisah-kisah menarik yang memotivasi kita untuk
menirukan ghirahnya. Menjelang wafatnya, Nyai Dahlan sempat berfatwa, “Saya
titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum KH. Ahmad
Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam
Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita
luhur mencapai kemerdekaan”. Oleh karena itu, Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak
dapat dipisahkan dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai
masyarakat yang beradab, adil dan makmur.
PETA PEMIKIRAN NYAI DAHLAN